Kasus Korupsi KA Sumsel : Pembangunan Rugikan Negara

Korupsi KA Sumsel

Kasus korupsi pembangunan KA prasarana stasiun kereta api di Sumatera Selatan (Sumsel) telah menjadi sorotan publik setelah Polda Sumsel menetapkan dua orang sebagai tersangka. Dugaan penyimpangan terjadi pada proyek pembangunan prasarana perkeretaapian di Stasiun Lahat dan Lubuklinggau. Pemerintah dan penegak hukum menyebut kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 1,9 miliar.

Berikut adalah ulasan lengkap seputar kronologi, modus operandi, pihak tersangka, serta dampak dan langkah penanggulangannya.

BACA JUGA : Kusumo Martanto Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Chromebook

Kronologi Korupsi KA Sumsel

  1. Proyek dan Nilai Kontrak
    Proyek di biayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022. Nilai kontrak proyek mencapai sekitar Rp 11.972.610.035. Kontrak ini meliputi pembangunan prasarana perkeretaapian dengan tujuan optimalisasi operasional di dua stasiun, yaitu Stasiun Lahat dan Lubuklinggau.
  2. Waktu Pelaksanaan
    Pekerjaan proyek di mulai pada 12 September 2022 dan di jadwalkan selesai pada 31 Desember 2022. Namun terdapat keterlambatan pelaksanaan. Kontraktor proyek tidak di kenai sanksi keterlambatan meskipun dalam kontrak ada klausul dendanya.
  3. Pemeriksaan Fisik dan Audit
    Pada tanggal 11 Juli 2024 di lakukan pemeriksaan fisik oleh ahli konstruksi. Dalam pemeriksaan di temukan bahwa ada kekurangan volume pekerjaan dan penggunaan beton yang tidak sesuai spesifikasi teknis.
  4. Penetapan Tersangka
    Dua orang di tetapkan sebagai tersangka:

    • AF (56 tahun), ASN Kementerian Perhubungan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Satker Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Palembang.
    • PR (35 tahun), Direktur CV Binoto, kontraktor pelaksana proyek.

  5. Kerugian dan Bukti
    Kerugian negara di taksir sekitar Rp 1,9 miliar akibat penyimpangan volume serta spesifikasi. Penyidik menyita sekitar 109 dokumen sebagai barang bukti, termasuk kontrak, dokumen pembayaran, progres kegiatan, dan dokumen pengadaan barang/jasa.
  6. Penanganan Delayed dan Sanksi Kontrak
    Meski proyek terlambat, kontraktor tidak dikenai sanksi keterlambatan senilai Rp 248 juta, padahal dalam kontrak terdapat klausul dendanya.


Modus Operandi Korupsi KA Sumsel

  • Pengurangan volume pekerjaan: Pekerjaan yang seharusnya dilakukan dalam jumlah tertentu ternyata tidak lengkap atau kurang dari volume yang tertera di kontrak.
  • Penyimpangan spesifikasi teknis: Material seperti beton tidak sesuai standar teknis yang disyaratkan, sehingga kualitas pekerjaan diragukan.
  • Tidak adanya penalti atas keterlambatan: Meskipun terjadi keterlambatan, kontraktor tidak dijatuhi denda, padahal klausul penalti telah tercantum dalam kontrak.
  • Dokumentasi pengadaan dan progres: Dokumen kontrak, laporan progres, serta dokumen pembayaran diusut dan ditemukan bukti-bukti penyimpangan.


Pihak Tersangka dan Tanggung Jawab

  • AF (ASN, PPK) bertanggung jawab sebagai pejabat yang membuat komitmen pelaksanaan pekerjaan. AF di duga mengabaikan pengawasan teknis dan administratif sehingga penyimpangan volume dan spesifikasi bisa terjadi.
  • PR (kontraktor, CV Binoto) sebagai pelaksana proyek dituduh melaksanakan pekerjaan yang tidak sesuai standar, serta memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan.

Keduanya di jerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara maksimal lebih dari 15 tahun bagi yang terbukti bersalah.


Dampak Korupsi KA Sumsel

  1. Kerugian Negara
    Dengan kerugian sekitar Rp 1,9 miliar, proyek ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran publik bisa di salahgunakan dan menjadi pemborosan negara apabila pengawasan lemahnya.
  2. Kualitas Infrastruktur
    Spesifikasi teknis yang tidak sesuai bisa berdampak pada daya tahan dan keamanan prasarana. Mesin, beton, dan struktur yang tidak sesuai bisa menyebabkan kerusakan prematur dan biaya perawatan lebih tinggi di masa depan.
  3. Kepercayaan Publik
    Kasus ini melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proyek publik dan institusi pemerintah, terutama pada lembaga terkait seperti Kementerian Perhubungan dan Balai Teknik Perkeretaapian.
  4. Efek Penundaan dan Ketidakadilan
    Ketidaksesuaian kontrak dalam penalti keterlambatan menunjukkan tidak adanya akuntabilitas. Proyek terlambat tetapi kontraktor terus mendapat pembayaran tanpa penalti menunjukkan ketidakadilan dalam pelaksanaan kontrak pemerintah.


Penanggulangan dan Rekomendasi

Untuk mencegah kasus-kasus serupa di masa depan, beberapa langkah dapat di pertimbangkan:

  1. Pengawasan Teknis dan Audit Lapangan yang Ketat
    Ahli konstruksi dan pemeriksa teknis harus melakukan audit fisik secara berkala, bahkan selama pelaksanaan proyek, bukan hanya di akhir.
  2. Penegakan Klausul Kontrak
    Klausul penalti dalam kontrak harus di implementasikan bila terjadi pelanggaran seperti keterlambatan atau spesifikasi yang tidak terpenuhi.
  3. Transparansi Kontrak dan Progress
    Publik dan media harus memiliki akses terhadap kontrak, laporan kemajuan pekerjaan, serta spesifikasi teknis sebagai bagian dari pengawasan publik.
  4. Sanksi Hukum Tegas
    Pihak yang terbukti bersalah harus di jatuhi hukuman sesuai UU Korupsi, agar efek jera nyata. ASN dan kontraktor harus di proses secara adil dan terbuka.
  5. Pemberdayaan Whistleblower
    Mendorong pelaporan internal atau masyarakat terhadap penyimpangan di proyek-proyek publik tanpa takut intimidasi.
  6. Perbaikan Sistem Pengadaan Barang/Jasa
    Pengadaan harus menggunakan sistem yang bisa menjamin kualitas dan kejujuran, termasuk evaluasi teknis yang memadai, penyaringan kontraktor, dan pemantauan mutu material.


Kesimpulan

Kasus korupsi pembangunan prasarana di Stasiun KA Lahat dan Lubuklinggau, Sumsel, adalah contoh nyata bagaimana penyimpangan pada proyek publik bisa menyebabkan kerugian negara dan melemahkan kepercayaan masyarakat. Dengan kerugian sekitar Rp 1,9 miliar, serta adanya kekurangan volume dan spesifikasi yang tidak sesuai, publik layak menuntut pertanggungjawaban secara penuh.

Implementasi hukum yang tegas dan transparansi dalam setiap tahap pengadaan proyek publik menjadi kunci agar kasus-kasus serupa tidak terulang. Pemerintah dan institusi penegak hukum harus memastikan bahwa proyek infrastruktur di jalankan dengan integritas, efisiensi, dan kepatuhan pada standar agar manfaatnya benar-benar di nikmati masyarakat.