Parksidediner.net – Kasus tragis yang melibatkan Bripka Rohmad, seorang sopir kendaraan taktis (rantis) Brimob, kembali menjadi sorotan publik. Ia terlibat dalam insiden yang menyebabkan seorang pengemudi ojek online (ojol) terlindas saat sedang bertugas dalam pengamanan. Dalam keterangannya, Bripka Rohmad mengaku bahwa tindakannya tersebut dilakukan semata-mata karena menjalankan perintah pimpinan di lapangan.
Pernyataan ini menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, aktivis, hingga pakar hukum yang mempertanyakan batas antara kepatuhan terhadap perintah atasan dan tanggung jawab pribadi seorang anggota kepolisian.
Kronologi Insiden Bripka Rohmad
Insiden bermula ketika pasukan Brimob tengah melakukan pengamanan di sebuah lokasi dengan tingkat kerawanan tinggi. Kendaraan taktis yang dikemudikan Bripka Rohmad melintas di area padat lalu lintas. Dalam situasi yang tidak terkendali, sebuah insiden terjadi di mana seorang pengemudi ojol terlindas oleh kendaraan tersebut.
Kejadian itu memicu kepanikan warga sekitar dan segera menjadi viral di media sosial. Video dan foto yang beredar memperlihatkan kondisi korban serta respons aparat di lokasi. Publik pun mendesak adanya kejelasan atas peristiwa yang di anggap sebagai bentuk pelanggaran serius dalam penegakan hukum dan kemanusiaan.
Pengakuan Bripka Rohmad
Dalam pemeriksaan internal, Bripka Rohmad menyatakan bahwa tindakannya bukanlah keputusan pribadi. Ia menegaskan hanya menjalankan instruksi dari pimpinan di lapangan untuk menggerakkan rantis pada jalur yang di tentukan.
“Saya hanya menjalankan perintah pimpinan, tidak ada niat untuk mencelakai siapapun,” ujar Bripka Rohmad dalam keterangannya. Pernyataan ini memunculkan diskusi luas tentang prinsip command responsibility dan sejauh mana seorang anggota harus mempertanggungjawabkan tindakannya ketika berada di bawah perintah atasan.
Tanggung Jawab Etik dan Hukum Bripka Rohmad
Pakar hukum menilai bahwa meskipun seorang anggota kepolisian terikat pada perintah pimpinan, tetap ada batasan hukum yang tidak boleh di langgar. Menurut prinsip universal, perintah atasan tidak dapat di jadikan alasan untuk membenarkan tindakan yang menimbulkan korban jiwa.
Dalam konteks ini, institusi kepolisian wajib melakukan penyelidikan menyeluruh untuk memastikan apakah tindakan tersebut murni kecelakaan, kelalaian, atau pelanggaran prosedur. Sidang etik serta proses hukum pidana bisa menjadi jalan untuk menentukan tanggung jawab individu maupun institusi.
Reaksi Publik
Ucapan Bripka Rohmad bahwa dirinya hanya menjalankan perintah pimpinan memicu pro dan kontra. Sebagian masyarakat merasa prihatin dengan kondisi anggota di lapangan yang sering berada dalam tekanan instruksi, sementara pihak lain menilai bahwa apapun alasannya, nyawa manusia tidak bisa di kompromikan.
Komunitas pengemudi ojol pun menyuarakan kekecewaannya. Mereka menuntut agar kasus ini di proses secara transparan dan korban serta keluarganya mendapatkan keadilan. Solidaritas sesama driver ojol terlihat di berbagai daerah, dengan menggelar doa bersama serta aksi solidaritas.
Sikap Polri
Pihak kepolisian melalui Divisi Humas menyampaikan bahwa kasus ini sedang di tangani secara serius. Bripka Rohmad di proses melalui sidang kode etik, sementara penyelidikan pidana masih berjalan. Polri menegaskan komitmennya untuk berlaku adil dan memberikan sanksi sesuai hasil investigasi.
Kapolri juga menekankan pentingnya evaluasi prosedur operasional pengamanan agar insiden serupa tidak terulang di masa depan. Penggunaan kendaraan taktis harus di lakukan dengan standar keamanan tinggi, terutama ketika berada di ruang publik yang padat masyarakat sipil.
Makna dan Pelajaran
Kasus Bripka Rohmad menjadi pengingat tentang pentingnya keseimbangan antara disiplin kepolisian dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perintah pimpinan memang harus di jalankan, namun setiap anggota juga memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan keselamatan warga sipil.
Pelajaran utama dari insiden ini adalah perlunya pembenahan dalam mekanisme instruksi, pelatihan, serta kontrol operasional di lapangan. Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi kunci agar kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum tetap terjaga.
Penutup
Pengakuan Bripka Rohmad, sopir rantis Brimob yang melindas pengemudi ojol, bahwa dirinya hanya menjalankan perintah pimpinan menimbulkan perdebatan serius. Kasus ini bukan hanya soal individu, melainkan juga menyangkut budaya komando, tanggung jawab hukum, dan perlindungan hak warga sipil.
Publik kini menunggu langkah tegas dari aparat penegak hukum untuk memastikan keadilan di tegakkan. Harapannya, peristiwa ini dapat menjadi titik balik dalam memperbaiki sistem kepolisian agar lebih humanis, profesional, dan senantiasa mengutamakan keselamatan rakyat.