Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI baru‐baru ini mengeluarkan kebijakan aturan baru yang menuai perhatian publik: dokumen ijazah calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kini termasuk dalam daftar dokumen persyaratan yang tidak boleh dibuka ke publik tanpa persetujuan tertulis. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025, yang di tetapkan pada 21 Agustus 2025. Berikut ulasan lengkap mengenai aturan ini, alasan KPU, reaksi publik, dan dampaknya.
Apa yang Baru dalam Keputusan KPU 731/2025
Beberapa poin penting dalam aturan baru ini antara lain:
- Ijazah, dokumen pendidikan legal, profil pribadi, dan rekam jejak capres‐cawapres termasuk dalam 16 dokumen persyaratan yang di kecualikan sebagai informasi publik.
- Dokumen‐dokumen tersebut tidak bisa di akses publik selama jangka waktu lima tahun, kecuali jika sang kandidat memberikan persetujuan tertulis, atau pengungkapan terkait dengan pejabat publik.
- Keputusan ini berlaku sejak di tetapkan pada Agustus 2025.
BACA JUGA : Kusumo Martanto Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Chromebook
Dokumen‐Dokumen Tersebut yang Dikecualika
Berikut adalah beberapa dokumen persyaratan yang masuk dalam daftar di kecualikan menurut aturan baru:
- Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau surat tanda tamat belajar atau keterangan legal lainnya.
- Daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak kandidat.
- Fotokopi KTP elektronik dan akta kelahiran.
- Surat keterangan catatan kepolisian.
- Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang di tunjuk.
- Dokumen lain yang menyangkut data pribadi seperti NPWP, laporan pajak, surat pernyataan lainnya.
Alasan KPU Mengeluarkan Aturan Baru Ini
KPU memberikan beberapa pertimbangan dalam menetapkan aturan ini:
- Banyak dokumen persyaratan capres/cawapres yang menyertakan data pribadi sensitif, yang jika di buka secara publik tanpa kontrol bisa menimbulkan risiko privasi.
- Dokumen seperti ijazah sering mencantumkan data yang di keluarkan oleh lembaga pendidikan, yang berada di luar kewenangan KPU untuk menjamin keasliannya secara publik.
- KPU menegaskan bahwa pengecualian dokumen bersifat sementara yakni selama lima tahun, dan bisa di buka publik jika calon memberikan izin atau jika dokumen tersebut relevan dengan jabatan publik tertentu.
Reaksi Publik dan Kritik terhadap Aturan Baru KPU
Aturan ini tidak luput dari kritik dan perdebatan:
- Beberapa pihak menyebut bahwa data calon presiden/ wakil presiden adalah data pejabat publik sehingga seharusnya transparan, termasuk ijazah dan profil.
- Ada yang berpandangan bahwa persyaratan dokumen seperti ijazah harus tetap bisa di akses publik agar masyarakat dapat melakukan verifikasi, terutama bila muncul isu integritas atau keaslian dokumen.
- Di sisi lain, ada yang membela kebijakan karena memberikan perlindungan terhadap privasi calonnya serta mengurangi potensi penyalahgunaan data pribadi.
Dampak & Implikasi
Aturan baru ini menimbulkan beberapa implikasi penting:
- Privasi kandidat lebih terlindungi, terutama terhadap penyebaran dokumen yang bisa di salahgunakan atau di bahas secara negatif sebelum di verifikasi.
- Transparansi dalam pemilihan publik mungkin terganggu, karena masyarakat dan media tidak bisa mengakses semua dokumen calon tanpa izin, yang bisa menyulitkan dalam pengawasan publik.
- Potensi perubahan norma kampanye – kandidat mungkin lebih hati‐hati dalam menyampaikan dokumen pribadi atau menyikapi pertanyaan terkait latar belakang pendidikan.
- Tantangan hukum dan administrasi, bila kemudian muncul sengketa soal keaslian atau validitas dokumen yang tidak bisa di akses publik untuk verifikasi pihak ketiga.
Kesimpulan
Keputusan KPU melalui Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 mengatur bahwa ijazah, profil, dan sejumlah dokumen calon presiden/wakil presiden termasuk dalam dokumen persyaratan yang dikecualikan dari akses publik selama lima tahun kecuali kandidat mengizinkan atau dokumen tersebut terkait jabatan publik. Keputusan ini lahir dari pertimbangan melindungi data pribadi namun di satu sisi menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi pemilu.
Keseimbangan antara privasi dan keterbukaan menjadi inti dari perdebatan ini. Bagi demokrasi, publik membutuhkan akses informasi untuk melakukan pengawasan, sedangkan kandidat juga berhak atas perlindungan privasi. Ke depannya, bagaimana aturan ini di implementasikan dan bagaimana respons dari publik serta lembaga pengawas akan menentukan bagaimana demokrasi Indonesia berkembang dalam hal transparansi dan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan presiden dan wakil presiden.